Juara Ketiga Lomba Esai KK-II FLP
2013
Siapkah Diri Anda Menjadi Orang Tua?
Oleh : Ani Nh Fazia
Menjadi
orang tua bukanlah pekerjaan mudah. Lantas hal apakah yang harus dilakukan
untuk menjadi orang tua yang ideal bagi anak?
Pernahkan Anda sekalian mendengar
kata-kata seperti ini ?
JIka anak dibesarkan
dengan celaan,
dia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan
dengan permusuhan,
dia belajar menentang.
Jika anak dibesarkan
dengan cemoohan,
dia belajar rendah
diri.
Jika anak dibesarkan
dengan rasa malu,
dia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan
dengan dorongan,
dia belajar percaya
diri.
Jika anak dibesarkan
dengan toleransi,
dia belajar menjadi
penyabar.
Jika anak dibesarkan
dengan pujian,
dia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan
dengan penerimaan,
dia belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan
dengan peneguhan,
dia belajar untuk
menyukai diri sendiri.
Jika anak dibesarkan
dengan kejujuran,
dia belajar kesejatian.
Jika anak dibesarkan
dengan rasa aman,
dia belajar untuk
mempercayai diri sendiri dan orang lain.
Jika anak dibesarkan
dengan persahabatan,
dia belajar bahwa dunia
adalah tempat yang indah untuk hidup
Dorothy Law Nolte (
Marty, 2005: 36)
Bagi para orang tua
yang baru saja mengetahui kata-kata di atas, saya ucapkan selamat untuk segera
mempraktekannya. Meskipun, saya juga
tidak terlalu yakin, kalau orang tua yang sudah mengetahui tulisan itu beberapa waktu
lalu, apakah mereka telah
mempraktekannya, atau mungkin hanya dianggap angin lalu ?
Apakah Anda tahu, anak
adalah aset yang paling berharga?
Lantas, ketika Anda
dititipi anak oleh sang Pencipta, kenapa Anda justru menjadikannya objek
sasaran baku tembak yang siap di Drill, atau dijejali dengan segudang
keinginan Anda. Lebih parahnya lagi, anak dijadikan sesuatu tak nilai yang bisa
dikendalikan.
Sebelum membahas lebih
lanjut tentang bahasan di atas, marilah kia berjalan-jalan untuk mendengar
kisah yang satu ini.
Di ambil dari buku berjudul, “Anakku Seorang
Skizofrenik !” yang ditulis oleh Beth Henry dan Vincent L. Pastore, Ph. D.
Buku tersebut
menceritakan tentang perjalanan seorang ibu tiri dalam menangani seorang anak
skizofrenia.
Awalnya, anak tersebut
sehat walafiat alias normal. Namun, sang ibu kandung kurang memperhatikan
kondisi anak. Dia bersikap acuh tak acuh kepada anaknya sendiri. Sang ibu
kandung dan sang ayah pun kerjanya hanya menghabis-habiskan waktu untuk perang
mulut. Walhasil, cerailah keduanya.
Sang anak berhasil diambil
hak asuhnya oleh ibu kandungnya. Begitulah cinta yang tidak didasari dengan
keimanan dan nafsu sesaat “ Putus Tengah Jalan..”
Apakah sang anak
bahagia? Kenyataan berkata lain, mulai
dari pakaian, makan, kegiatan, perlakuan, semua amburadul.
Si ibu malah lebih
menghabiskan waktu dengan kekasih barunya, si ibu juga sering menitipkan
anaknya untuk diasuh dan dirawat oleh kekasihnya itu. Perlahan, anak yang
sangat manis itu berubah menjadi kumal, tidak terawat, parahnya lagi mungkin
menjadi seorang “Monster”
Si ayah yang melihat
kondisi anaknya tidak terurus memutuskan untuk membawa sang anak tinggal bersamanya. Sang ibu kandung
menyetujui dan mengizinkan sang ayah untuk membawa anaknya tersebut.
Saat itu, si ayah sudah
menikah dengan wanita lain. Dia juga sudah mempunyai anak dari istri barunya.
Ketika dibawa kehadapan ibu tirinya. Sang ibu tiri kaget luar biasa
,,,anak tirinya itu benar-benar dalam kondisi mengkhawatirkan, kurus, kering
dan tidak terawat. Sang ibu tiri yang baik itu pun merawat anak tadi dengan
kasih sayang tanpa membeda-bedakan.
Parahnya adalah, anak
tersebut benar-benar sudah menjadi iblis. Kenapa disebut iblis?
Inilah beberapa tingkah laku yang sangat
tidak wajar dilakukan anak.
Dihadapan yang lain si
anak bersikap manis, namun di suatu waktu dia bisa berubah menjadi sosok lain
yang sangat berbeda. Anak ini mempunyai kepribadian ganda yang sulit ditebak.
Sering sekali si Anak menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama dengan suatu
makhluk yang sebenarnya tidak ada. Dia memanggil makhluk itu dengan sebutan setan.
Halusianasinya telah
mencapai tingkat tinggi yang terkadang dia sendiri tidak menyadari mana yang
halusianasi dan mana yang asli. Dia mempunyai dunia sendiri yang tidak bisa dimasuki
atau dijamah siapa pun.
Di sekolah, anak
tersebut sering bersikap tidak normal. Pasalnya, dia selalu mengganggu anak
perempuan dan dengan sengaja memegangi kemaluan anak perempuan tersebut.
Anak itu tak henti
membuat kekacauan, dia bahkan sering memukul teman-temannya, dan bersikap tidak
senonoh terhadap teman perempuannya.
Bukan hanya itu, dia
juga tidak segan-segan menancapkan pensil pada kedua bola mata sang kakak tiri.
Anak itu tidak pernah menyesal dengan perilakunya, dia malah merasa senang dan
puas telah melakukan hal tersebut.
Nafsunya untuk melukai orang-orang
disekitarnya benar-benar tidak terkontrol. Dia bahkan tidak segan untuk
membunuh orang. Padahal usianya baru 5 tahun. Anda bayangkan, anak sekecil itu?
Meskipun sang ibu tiri
selalu memberikan cinta kepada sang anak, rupanya hal tersebut tidak berpengaruh
sama sekali.
Anak tersebut malah sering
melakukan berbagai cara untuk melenyapkan nyawa adik bayi tirinya.
Pernah suatu waktu si anak
dengan sengaja mengambil pisau dan hendak menghunuskannya ke adik bayinya itu. Ibu
tirinya yang melihat kelakuan anaknya merasa ketakutan, ia berlari mengambil bayi
itu dan berusaha menghindari sang anak.
Sang anak yang melihat
ibunya ketakutan hanya tertawa dan mengejar puas. Menggedor-gedor pintu yang
dikunci sembari membawa-bawa pisau.
Hal apakah yang
menyebabkan anak sedemikian parahnya? Segala obat telah dicoba, ia pun telah
menjalani pengobatan di rumah sakit dengan biaya yang sangat mahal. Tetap saja,
usaha ini sia-sia.
Bapak dan ibu tahu
kenapa? Karena anak tersebut menderita penyakit skizofrenia. Suatu penyakit
yang sampai saat ini belum ada satu pun obat yang bisa menyembuhkan kecuali
mengurang gejalanya saja.
Sebenarnya, apa penyebab anak mengalami
gangguan yang luar biasa seperti itu? Tekanan apa yang melatar belakanginya?
Ternyata, anak yang
tadinya normal tersebut mendapatkan perlakuan yang amat biadab dari kekasih ibu
kandungnya.
Tiap pagi , si anak di
suruh menyedot alat vital si kekasih ibunya. Si anak mengaku, ia merasakan dari
alat vital yang di sedot itu keluar cairan berwarna putih yang selalu dimakannya
tiap pagi. Kekasih ibunya itu pun sering
sekali menyiksa anak dan memasukannya ke kamar mandi, merendamnya selama
berjam-jam di dalam bak.
Itu bukan apa-apa.,, Hal yang paling mencengangkan adalah
perlakuan dari ibu kandungnya sendiri yang tidak waras. Sangat tidak masuk
akal?
Apa mungkin ada seorang
ibu yang menodai kehormatan anaknya sendiri? Kenyataannya memang seperti itu. Sang
ibu sering menggigit dan menyedot alat vital anak tersebut, berbuat tidak
senonoh kepada anak kandungnya sendiri. Perbuatan yang membuat siapa pun yang
mendengar merasa sesak dengan perbuatan sang ibu.
Apakah anak tersebut
sembuh? Sampai dipenghujung cerita, anak tersebut
tidak dapat kembali ke sifatnya seperti sedia kala. Panyakit yang pada akhirnya
harus membuatnya tinggal di rumah sakit khusus.
Cerita ini benar-benar diambil
dari kisah nyata !!
Seringkali orang tua
berkata, “Surga itu ada di telapak kaki, ibu”, “Seorang anak harus patuh dan
taat kepada orang tuanya!”, “Jangan jadi Anak durhaka, Kamu!”
Ya, itu memang benar adanya. Tetapi, apa
Anda tidak pernah merasakan menjadi seorang anak? Kilas balik, bagaimana rasanya?
Sebagai orang tua yang
bijak, tentu akan lebih baik lagi jika kita memahami dan mengenali kondisi
psikologis anak. Cobalah untuk memaafkan kesalahan anak, duduk bersama-sama dengan anak, menjadi teman berbaginya dan lakukan
pendekatan yang baik dengan anak.
Semakin dewasa seorang
anak, maka keegoannya semakin tinggi, dia menjadi sosok yang tidak mau di
tentang dan di atur. Dia ingin bebas, dia ingin keinginannya didengar oleh
orang tuanya.
Orang tua pun tentu
seperti itu, merasa tinggi, ingin dihormati, ingin di segani, ingin anaknya
tidak melawan dan ingin anaknya bersikap tidak memusuhi.
Tapi kita harus ingat!
Anak bukanlah robot
atau malaikat yang diam dan tunduk mengikuti semua aturan. Anak kita adalah
milik Allah , dia itu hanya titipan sementara.
“Keteladanan itu lebih berguna
dan bermakna dibanding dengan seribu
kata-kata!” Jika Anda menginginkan anak anda menjadi
seseorang yang taat. Maka penuhilah hak-hak anak. Anda tahu betapa Rasulullah
adalah seseorang yang begitu penyabar dalam menghadapi anak-anaknya?
Anak yang baik,
dihasilkan dari cara didik yang baik. Bukan dalam artian mengerasi anak atau
malah memanjakan anak secara berlebihan.
Sebagai contoh kecil, “Apa yang anda lakukan ketika melihat anak
anda pulang malam, tanpa memberi kabar sebelumnya?” Inilah hal yang mungkin anda katakan, “Kemana saja kamu, pulang jam segini, tidak malu apa?”
Sadar atau tidak, kata-kata
tersebut secara tidak langsung telah menjauhkan diri Anda dengan sang anak. Telah
membuat garis pemisah yang sangat lebar, telah membuat pengurangan harga diri
Anda dihadapan sang anak, telah membuat ketakutan sekaligus penanaman rasa
benci dalam diri anak untuk mulai berontak.
Akan ada respon lain
(positif) ketika Anda berkata, “Baru pulang, sayang? Kamu bersihkan muka
dulu ya, ibu nanti mau berbicara sebentar sama kamu, “ ucapakan hal
tersebut dengan suatu sentuhan yang ditujukan kepada anak.
Survey membuktikan, suatu
hubungan akan semakin harmonis jika di dalam hubungan tersebut terdapat kontak
fisik secara langsung “meski pun hanya sebuah sentuhan,”
Anda jangan merasa malu
berbuat seperti itu terhadap anak. Anda juga jangan merasa gengsi untuk mengucapkan maaf atau mengucapkan
terimakasih kepada anak.
Bukankah itu hal yang baik untuk membiasakan anak melakukan hal yang sama
seperti yang Anda lakukan?
Cerita lain agar anak
Anda ter-ajak tanpa merasa diajak. Pertanyaanya adalah, bagaimana cara Anda dalam mempengaruhi sang anak? Kita ambil contoh “ Sholat!” sesuatu
yang terkadang sulit diterapkan kepada anak.
Mungkin Anda akan
marah-marah jika anak di suruh shalat tapi tidak mau, atau malah bersikap masa bodoh karena menganggap anak masih kecil.
Jadi untuk shalat “ tidak terlalu penting.”
Ingat, pembiasaan itu
di mulai dari kecil. Jika anak dibiasakan sedari kecil, maka kebiasannya
tersebut akan terbawa hingga dia dewasa.
Untuk mengajak anak
shalat beri ajakan seperti ini, “ Siapa
yang mau ke syurga, di syurga enak lho kita bisa minta apa pun yang kita mau.
Tempatnya juga indah, banyak mainannya, banyak makanannya. Nah, Kalau mau lihat
syurga, kita harus rajin shalat . Siapa yang mau shalat bareng Bapak? Yuuu,,,,”
Lebih efektif mana
dengan kata-kata ini,” Anak-anak, ayo kita shalat. Kalau tidak shalat nanti masuk neraka. Mau tidak masuk neraka ?Ihh,” kata-kata ke dua ini
lebih ke pengancaman, belum apa-apa anak sudah takut duluan.
Atau mungkin, “Cepat
shalat, malas amat! Kamu sudah besar,
mikir, mau jadi apa kalau tidak pernah shalat? Wah-wah, kata-kata ini malah
lebih kasar lagi. Anak bukan saja terancam tapi ia akan membuat pertahanan kuat
untuk membantah.
Tiga-tiganya bisa di
pakai, tapi pikirkan mana kata-kata yang lebih baik bagi psikologis anak?
Tentu saja sebelum Anda
mengajak, Anda harus terlebih dahulu mempraktekan dan mencontohkannya. Jangan
hanya menyuruh anak, Anda sendiri tidak pernah melakukannya! Apa mungkin didengar
oleh anak?
Seorang guru yang mengajar
di suatu TK, mungkin akan menemukan berbagai macam karakter anak. Ada anak yang diam, cerdas, pasif, terlalu aktif (sering menjahili teman-temannya),
dan juga berbagai krakter lain yang unik.
Kita tidak bisa
menyalahkan anak dengan berbagai perilaku yang menurut kita “sangat menjengkelkan!” Cobalah mulai untuk memahami karakter anak.
Anda orang tuanya, jadi
anda yang paling mengetahui bagaimana kondisi anak. Separah-parahnya kondisi
lingkungan luar / pergaulan di luar rumah, hal tersebut tidak akan mengefek
kepada anak selama anak diberikan pondasi
yang kuat mengenai keimanan dan taqwa, tanggung jawab, kepercayaan, dan
kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Senakal-nakalnya anak,
jangan pernah mengatakan anak itu adalah anak yang nakal. Tapi pujilah dia
dengan sebutan “Anak yang Shaleh dan Baik.” Pujian dapat memberikan suatu keberanian dalam dirinya untuk
mengatakan “ Saya itu seseorang yang baik, ibu saya saja sering memuji.”
Berbeda dengan sikap
anda yang sering mengejek anak, atau malah mencap anak dengan sebutan anak
nakal. Anak bukannya jera dengan hal itu, dia malah akan bertanya dalam
dirinya, “Apakah saya benar-benar nakal? Saya itu anak bodoh yang nilainya
selalu jelek? Ya sudah, kalau begitu anggapan ibu, saya akan benar-benar
seperti apa yang dikatakan mereka.“
Keberhasilan seorang
anak itu sebenarnya tergantung dari bagaimana orang tuanya dalam mendampingi
sang anak, terutama peranan seorang ibu tanpa mengesampingkan ayah.
Seorang Toto Chan tidak akan besar tanpa ibu yang mendampingi,
seorang Thomas Alfa Edison tak akan menjadi ilmuan tanpa bimbingan sang
ibu, atau seorang Jamil Al-jaini tidak akan menjadi seorang motivator
tanpa suntikan dorongan dari sang ayah.
Ya, banyak orang-orang besar yang tadinya dianggap tidak berhasil
tapi malah menjadi orang yang sukses. Siapa dibalik semua itu. Ibu dan ayah
tentunya! Ibu dan ayah yang bijak dan selalu memotivasi sang anak.
Ingat, bagaimana anak
kita nanti, mau seperti apa anak kita? Tergantung dari orang tuanya sendiri
yang menamankan perilaku awal.
Anak itu seperti kertas putih, mau
seperti apa nantinya, orang tua lah yang terlebih dahulu mengukirnya pada
kertas putih itu.
Banyaklah membaca,
banyaklah memahami, banyaklah mengerti, banyaklah mendengar dan banyaklah
belajar barulah anda akan memahami bagaimana orang tua harus bersikap terhadap
anak.
Warisan yang paling
berharga yang diberikan kepada anak bukanlah harta tapi ilmu. Ilmu yang jika dibagi bukannya berkurang tapi bertambah, ilmu yang
tidak harus di jaga malah akan menjaga.
Ilmu yang membuatnya
menjadi kaya dengan kearifan, ilmu yang membuatnya menjadi seorang yang bijak,
ilmu yang membuatnya menjadi anak shaleh/ shalehah kebanggaan bagi kedua orang
tuanya. Semoga kita dijadikan orang tua yang memberi kenyamanan dan keteladanan
bagi anak.
Walahu’alam bi shawab.
Bandung, Februari 2011
Nb. Meskipun saat ini saya belum menikah
dan mempunyai seorang anak, saya berharap suatu saat nanti saya dapat menjadi
ibu yang dapat memberikan rasa nyaman terhadap anak-anak saya kelak. Menjadikan
rumah sebagai syurga yang menentramkan. Baiti jannati, aamiin. Mohon doanya.